Jumat, 24 Februari 2012

Nasihat Umar bin Abdul Aziz

Umar bin Abdul Aziz rahimahullah suatu hari menasehati para sahabatnya, beliau berkata: Jika kalian melewati kuburan, lihatlah... betapa sempitnya rumah-rumah mereka sekarang.

- Tanyakan kepada orang-orang kaya mereka, masih tersisakah harta mereka?
- Tanyakan pula kepada orang-orang miskin di antara mereka, masih tersisakah kemiskinan mereka?
- Tanyakan tentang lisan yang dengannya mereka berbicara, sepasang mata yang dengannya mereka melihat indahnya pemandangan?
- Tanyakan pula tentang kulit-kulit nan lembut dan wajah-wajah cantik jelita, tubuh-tubuh yang halus-mulus, apa yang diperbuat oleh ulat-ulat di balik kain kafan mereka? Lisan-lisan itu telah hancur, wajah-wajah cantik jelita itu telah dimakan ulat, anggota badan mereka telah terpisah-pisah berserakan.
- Lalu di mana pelayan-pelayan mereka yang setia?
- Di mana tumpukan harta dan sederetan pangkat mereka?
- Di mana rumah-rumah gedong mereka yang banyak dan menjulang tinggi?
- Di mana kebun-kebun mereka yang rindang dan subur?
- Di mana pakaian-pakaian mereka yang indah dan mahal?
- Di mana kendaraan-kendaraan mewah kesukaan mereka?
- Bukankah mereka kini berada di tempat yang sangat sunyi?
- Bukankah siang dan malam bagi mereka sama saja?
- Bukankah mereka berada dalam kegelapan?
- Mereka telah terputus dengan amal mereka.
Mereka telah berpisah dengan orang-orang yang sangat mereka cintai, dengan harta yang mereka puja-puja, dengan gaya hidup yang mereka banggakan. Orang-orang yang mereka cintai tidak mau ikut bersamanya, harta yang mereka tinggalkan malah akan menjadi beban jika digunakan bukan di jalan yang Allah ridhai. Ketika itu, yang masih bermanfaat hanyalah tiga: shadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anaknya yang shaleh yang mendo’akan dirinya.” Demikianlah nasehat dari Umar bin Abdul Aziz.

Selasa, 14 Februari 2012

Wanita yang Dipenuhi Rasa Cinta

Selalu, saya akan tenggelam dalam luasnya danau di keriput garis mata wanita itu; garis yang berkisah tentang kesabaran, perjuangan hidup, penderitaan dan pengorbanan serta maaf. Menelusuri peta yang ada di wajahnya, saya tak pernah tersesat dalam membaca atau mencari sebuah kota bernama: keikhlasan.


Kali ini, saya berusaha menyusun kepingan kesabaran dan danau maaf yang ada padanya dari sebuah drama kecil yang meluruhkan air mata saya pada akhir Februari 2003 lalu, di sebuah bangsal kelas II Rumah Sakit Umum Giriwono, Wonogiri.

Tubuh renta wanita itu melangkah ragu, mungkin beberapa bagian disebabkan perjalanan sekitar dua jam dengan memakai bus. Ia memang hampir selalu mabuk dalam perjalanan semacam itu kendati hanya dalam bilangan jam.

“Mbah...!” suaranya bergetar saat berada di ambang pintu. Nanap, ia menatap sesosok tubuh yang tergolek di atas tempat tidur dengan berbagai selang; infus, bantuan pernapasan, dan saluran pembuangan....

Laki-laki yang tergolek itu membalas tatapnya, menahan sejenak, lantas pelan-pelan dialihkan ke tempat lain. Ada sedu tertahan, sesak dalam dada.

“Bagaimana, Mbah?” kembali sapa wanita itu seraya mendekat dan meraba kening si lelaki. “Yang sakit bagian mana?” lanjutnya. Tangannya membelai kening lelaki itu dan turun ke telinganya.

Lelaki itu telah dua hari dirawat di rumah sakit karena penyakit stroke. Tubuh bagian kanannya lumpuh.

Lemah, tangan kiri si lelaki berusaha meraih tangan wanita itu, menggenggamnya lama, tetap dengan mata menghindari bertatap dengannya. Ada kepundan yang bergolak-golak di sana dan tangis yang enggan dipurnakan.

-----

Wanita itu tak lain adalah bekas istri dari lelaki yang kini tergolek tersebut. Lebih dua puluh tahun sudah keduanya berpisah.

Sangat sah bagi si wanita itu apabila ia membenci bekas suaminya. Begitu banyak luka menganga yang ditinggalkan lelaki itu dalam perjalanan hidup yang ia alami.

Sebelum resmi berpisah, suaminya menelantarkan dirinya berikut anak-anaknya. Suaminya lantas menikah dengan wanita lain, memenuhi istri mudanya dengan kekayaan dan kebahagian, sedangkan wanita ini terlunta-lunta memperjuangkan hidup yang ingin ia menangkan.

Ya, nyaris tak ada apa pun yang diberikan suaminya selain penderitaan. Ia bukan resmi dicerai di PA, karena itu ia masih menjadi istri jika sewaktu-waktu suaminya pulang atau bertandang. Selalu tak ada apa-apa yang di bawa lelaki itu selain perselisihan atau kekesalan pada istri mudanya dan si wanita akan menerimanya dengan sabar.

Tapi, selalu begitu, setelah ia kembali mengandung, suaminya akan segera pergi kembali pada istri mudanya, dan kembalilah ia berjuang terlunta-lunta dengan janin dalam kandungan. Tercatatlah, sembilan anak terlahir dari rahimnya, seorang di antaranya meninggal karena kekurangan air susu. Asinya tidak keluar oleh karena nyaris tak ada makanan layak yang ia konsumsi.

Di lain waktu, pernah selama beberapa minggu ia -berikut anak-anaknya-tidak makan nasi. Tidak ada beras tersisa. Kendati suaminya hidup berkecukupan bahkan boleh dibilang kaya, -- saat itu, suaminya menjabat kepala desa-ia tak hendak meminta, apalagi menuntut. Untuk bertahan hidup, ia dan anak-anaknya memakan daun-daunan yang direbus dengan campuran sedikit beras hasil utang. Jika waktu makan tiba, ia kumpulkan anak-anak, duduk melingkar memutari kuali tanah berisi bubur daun-daunan tersebut dengan masing-masing memegang satu piring. Lantas, pada piring masing-masing dituang bubur encer terebut. Sungguh jauh dari cukup, apalagi rasa kenyang. Sementara... suami dan istri mudanya sekaligus anak-anak mereka makan dengan kenyang dan berlebihan.

Jika malam tiba, gubuk reot yang ia huni itu penuh rebak dengan cerita. Wanita ini gemar sekali mendongeng untuk anak-anaknya; satu-satunya hiburan yang bisa ia berikan pada anak-anak. Dengan sebuah lentera kecil yang berkedip-kedip ditiup angin, ia mendongeng Timun Mas, Kepel, Lutung Kasarung, Roro Mendut-Pronocitro, Minakjinggo-Kenconowungu, dan sekian lagi dongeng yang ia kreasi sendiri. Anak-anaknya mendengarkan dengan mata berbinar-binar. Kadang-kadang pula ia mengajarkan tembang-tembang dolanan yang menjadi senandung riang pembawa semangat anak-anaknya. Sambil bercerita itu, tangannya tak henti bekerja, kadang-kadang sampai larut malam; menganyam tikar pandan pesanan tetangga, mengupas singkong, oncek dhele, prithil kacang, pipik jagung... pekerjaan-pekarjaan khas para petani yang darinya ia peroleh upah tak seberapa.

Lantas, sementara ia terus mendongeng, satu per satu anak-anaknya terlelap di atas tikar yang berlubang dan bertambal-tambal di sana-sini. Setelah anak-anaknya tertidur, serentak, wajahnya yang semula berbinar-binar tanpa duka itu meredup. Ia menatap anak-anaknya yang tidur dengan mulut menganga dan perut berkeriut. Napasnya cekat. Tanpa permisi, air mata berbondong-bondong keluar oleh tindihan rasa nelangsa. Ya... di saat yang sama, suami dan istri mudanya berikut anak-anak mereka terlelap di atas kasur dengan selimut hangat dan perut kekenyangan.

Baginya, duka itu adalah miliknya sendiri. Jangan sampai memberi anak linangan air mata. Jangan sampai ia berikan duka.

Dirinya masih harus merunut malam yang jauh. Dia tak berpikir akan bertahan hidup, tapi ia tak akan mengakhiri sendiri dengan bodoh; kendati sebenarnya itu pernah terlintas dalam benaknya.

“Saya tak percaya saya masih hidup sampai hari ini,” ujarnya bertahun-tahun setelah itu. Yang ada dalam pikirannya adalah 'hidup dan bertahan'. Ia harus menyelesaikan semua itu dengan cara-cara pahlawan.

Dengan menjadi buruh tani, ia terus mengais. Pekerjaan itu nyaris tak menjanjikan apa-apa. Tak jarang, ia bekerja di sawah suaminya sendiri sebagai buruh dengan upah yang tidak lebih besar dari buruh yang lain, bahkan cenderung lebih kecil. Entah, bagaimana ia mampu menjalani semua itu.

Lantas, satu per satu anaknya lulus sekolah. Yang pertama menyelesaikan SMP, yang kedua bertahan hanya sampai SD, sedangkan yang ketiga tak mampu menyelesaikan pendidikan terendah sekalipun kendati justru ia anak paling cerdas di antara anak-anaknya yang lain. Bersama, ketiga anak ini memutuskan merantau ke Jakarta. Tentu saja tak begitu ada harapan bekerja di tempat yang nyaman. Ketiganya... menjadi pembantu. Tapi, kendati sedikit, ketiganya mulai bisa mengirim uang untuk orang tua dan adik-adiknya.

Begitulah, wanita ini telah mengatur rupiah dengan begitu cermat. Ia bahkan tak menyentuh uang-uang kririman itu, tapi kesemuanya digunakan untuk membiayai sekolah lima anaknya yang lain. Cukup ajaib, kelima anaknya tersebut berhasil menamatkan jenjang SLTA.

Hari-hari lesap ke bulan dan bulan tenggelam dalam tahun. Seperti hidupnya, waktu tidak berhenti berjalan. Satu per satu anaknya lulus, bekerja ... dan menikah. Biaya sekolah tidak melulu ditanggung anak pertama, tetapi selalu demikian... setiap ada yang lulus dan mulai bekerja, ia bertugas melanjutkan estafet amanah itu.

Lagi-lagi, keajaiban dan bukti bahwa Allah Mahakasih, empat dari anak-anaknya tersebut lulus tes menjadi pegawai negeri sipil, sebuah pekerjaan yang cukup bergengsi untuk ukuran daerahnya. Saat sekolah pun, rata-rata mereka mendapat beasiswa atau keringanan biaya sebagai kompensasi dari prestasi yang diraih... atau minimal menjadi juara kelas. Namanya pun menjadi legenda di masyarakatnya bahwa anak-anaknya maupun cucu-cucunya pasti cerdas dan sukses.

Bolehlah dikatakan begitu. Untuk ukuran orang seperti dirinya, tentulah apa yang ada sekarang ini merupakan sukses yang tidak terbilang. Masing-masing anaknya di Jakarta telah memiliki hunian yang layak -kendati kecil--, anak pertamanya malah berhasil masuk tes PNS di Mabes Polri kendati hanya dengan ijazah SMP. Anak-anaknya pun nyaris semua cukup disegani di lingkungannya, hal mana tidak demikian dengan anak-anak suaminya dari istri mudanya.

Tahun 2002, rumah yang ia huni yang dibangun anak-anaknya pada tahun 1988, ambruk. Kondisinya memang telah reot. Anak-anaknya bukan tidak tahu, tapi mereka tidak memperbaikinya dalam kurun yang cukup lama itu disebabkan mereka dilarang oleh sang ayah -suami dari wanita ini-untuk memperbaiki.

Laki-laki itu mungkin hatinya terbuat dari batu, tak juga bisa belajar dari kejadian-kejadian yang ia alami. Tahun 1988, saat anak terakhir dari istrinya berusia 10 tahun, ia kembali terpikat wanita lain; seorang janda muda dari kampung sebelah. Karena tak bisa menikah resmi, keduanya -entahlah, mungkin nikah di bawah tangan-tinggal serumah.

Kali ini, wanitanya tak 'sebaik' dan sesabar' dua istrinya terdahulu. Hartanya habis dalam bilangan tahun. Dan... empat tahun kemudian, jabatannya sebagai kepala desa berakhir.

Hidup dengan sisa-sisa kejayaan masa lalu, wanita muda ini tidak bertahan. Ia memilih pergi meninggalkan si lelaki yang kini tak lagi bisa mencukupi kebutuhannya.

Lantas, seperti roda... hidup berputar. Allah terus memperjalankan takdirnya yang tak terkata namun bagian dari hal paling tetap dan niscaya. Bukan karma. Lelaki ini menjalani hidupnya sendiri, menjadi buruh tani -karena sawahnya telah habis terjual-dan tinggal di kesunyian rumahnya: tanpa anak dan istri.

Sementara istrinya -si wanita ini-mulai merasai kebahagiaan dari hidup yang lebih layak, riang dipenuhi jeritan manja cucu-cucu dan rengekan mereka.

Maka, meradanglah si lelaki saat anak-anaknya berniat membangun sebuah rumah untuk ibunya karena rumah yang kemarin rubuh. Tak hanya fitnah, teror pun dilangsungkan. Anak-anaknya tak menyerah, tetap berusaha membangun rumah itu karena memang sudah tidak bisa ditunda lagi. Dulu mereka menahan-nahan niat tersebut selama bertahun-tahun, dan sekarang tak bisa lagi.

Tersebutlah, di suatu malam, si wanita -istrinya yang telah ditelantarkan itu-mendengar suara berisik ayam-ayam di kandang. Berjingkat, ia membuka pintu belakang rumah. Masih sempat sekilas ia melihat suaminya menaburkan sesuatu di sudut luar rumah. Kendati dalam remang, ia masih bisa mengenali bahwa sosok itu adalah suaminya.

Paginya, tiba-tiba ia lumpuh. Tubuhnya lemah dan tak bisa berdiri. Orang-orang menduga itu teluh. Setelah dirawat beberapa saat di RS, alhamdulillah ia sembuh.

Teror tak berhenti. Suaminya, secara terbuka, mendoakan agar kayu-kayu rumahnya keropos dimakan rayap. Dan doanya terkabul, tapi kali ini bukan pada rumah si wanita, melainkan rumahnya sendiri. Beberapa waktu kemudian ia mengancam akan membakar rumah itu, dan sekali lagi, rencana itu -kendati bukan dia-terlaksana. Juga bukan pada rumah si wanita, melainkan rumahnya sendiri. Karena lupa memadamkan api di tungku, rumah belakangnya terbakar.

Itu semua belum berakhir. Dalam kesendirian yang diliputi rasa dengki dan iri, ia mendoakan agar si wanita ini diserang penyakit. Dan lagi.... doanya terkabul, juga bukan untuk si wanita, tapi untuk dirinya sendiri. Tiba-tiba, orang-orang menemukan lelaki itu tak bisa bicara dan sebelah tubuhnya lumpuh. Ia terserang stroke untuk pertama kali yang sekaligus masuk dalam stadium kritis.

Anak-anaknya membawanya ke rumah sakit.

Dan... kejadian hari itu adalah bak sebuah drama nyata. Sebuah babak yang luar biasa indah saat si wanita -dengan langkah ragu dan bergetar, sebagian oleh sisa perjalanan yang membuatnya mabuk darat-menjenguk bekas suaminya yang tergolek di rumah sakit. Ada pancaran iba dan kasih yang tulus saat ia meraba, mengusap, dan bertanya tentang kabar dengan terbata-bata. Mesra sekali saat ia memijit kaki lelaki itu.

“Piye rasane, Mbah?” tanyanya dengan panggilan mesra. Mbah? Aduhai, nyaman sekali. Saat belum punya anak, ia memanggil lelaki ini dengan sebutan 'Kakang,' saat sudah punya anak dengan sebutan 'Pak', dan saat telah dianugerahi cucu demikian banyak, ia memanggilnya 'Mbah'

Gemetar, tangan kiri lelaki ini -karena tubuh bagian kanannya lumpuh-menggenggam tangan renta yang mengusap keningnya, seakan ia menikmati belaian lembut tersebut dan menahannya sesaat agar jangan terlalu cepat sirna. Kendati pandangannya dibuang ke sisi lain menghindari wajah -bekas-istrinya ini, ia tak bisa mengingkari ada lautan maaf dan cinta yang telah menggelombanginya.

Melihatnya, saya tak kuasa menahan isak. Seperti lelaki itu, tangis saya cekat di kerongkongan sementara air mata sudah berbondog-bondong menitik tanpa bisa dicegah lagi. Sesak sekali dada saya oleh rasa haru yang menekan-nekan.

Ya... melihat wanita ini, saya seperti tenggelam dalam laut kesabaran. Dan... dialah wanita tercantik yang pernah saya jumpai di dunia ini. Dia... tak lain adalah ibu saya.

Ya Allah... ampunilah dosanya, maafkanlah kesalahannya dan kasihilah dia sebagaimana ia mengasihi kami dalam suka dan duka.

Sakti Wibowo [abu_ahmadi at yahoo dot co dot in]

Malam 1 Juni 03
Kenangan dan doa untuk Bundaku, orang paling berharga dalam hidupku.

(Tulisan ini terlah termuat dalam buku “Diari Kehidupan 1,” PT Syaamil Cipta Media, Bandung, 2004)
 Selalu, saya akan tenggelam dalam luasnya danau di keriput garis mata wanita itu; garis yang berkisah tentang kesabaran, perjuangan hidup, penderitaan dan pengorbanan serta maaf. Menelusuri peta yang ada di wajahnya, saya tak pernah tersesat dalam membaca atau mencari sebuah kota bernama: keikhlasan.

Kali ini, saya berusaha menyusun kepingan kesabaran dan danau maaf yang ada padanya dari sebuah drama kecil yang meluruhkan air mata saya pada akhir Februari 2003 lalu, di sebuah bangsal kelas II Rumah Sakit Umum Giriwono, Wonogiri.

Tubuh renta wanita itu melangkah ragu, mungkin beberapa bagian disebabkan perjalanan sekitar dua jam dengan memakai bus. Ia memang hampir selalu mabuk dalam perjalanan semacam itu kendati hanya dalam bilangan jam.

“Mbah...!” suaranya bergetar saat berada di ambang pintu. Nanap, ia menatap sesosok tubuh yang tergolek di atas tempat tidur dengan berbagai selang; infus, bantuan pernapasan, dan saluran pembuangan....

Laki-laki yang tergolek itu membalas tatapnya, menahan sejenak, lantas pelan-pelan dialihkan ke tempat lain. Ada sedu tertahan, sesak dalam dada.

“Bagaimana, Mbah?” kembali sapa wanita itu seraya mendekat dan meraba kening si lelaki. “Yang sakit bagian mana?” lanjutnya. Tangannya membelai kening lelaki itu dan turun ke telinganya.

Lelaki itu telah dua hari dirawat di rumah sakit karena penyakit stroke. Tubuh bagian kanannya lumpuh.

Lemah, tangan kiri si lelaki berusaha meraih tangan wanita itu, menggenggamnya lama, tetap dengan mata menghindari bertatap dengannya. Ada kepundan yang bergolak-golak di sana dan tangis yang enggan dipurnakan.

-----

Wanita itu tak lain adalah bekas istri dari lelaki yang kini tergolek tersebut. Lebih dua puluh tahun sudah keduanya berpisah.

Sangat sah bagi si wanita itu apabila ia membenci bekas suaminya. Begitu banyak luka menganga yang ditinggalkan lelaki itu dalam perjalanan hidup yang ia alami.

Sebelum resmi berpisah, suaminya menelantarkan dirinya berikut anak-anaknya. Suaminya lantas menikah dengan wanita lain, memenuhi istri mudanya dengan kekayaan dan kebahagian, sedangkan wanita ini terlunta-lunta memperjuangkan hidup yang ingin ia menangkan.

Ya, nyaris tak ada apa pun yang diberikan suaminya selain penderitaan. Ia bukan resmi dicerai di PA, karena itu ia masih menjadi istri jika sewaktu-waktu suaminya pulang atau bertandang. Selalu tak ada apa-apa yang di bawa lelaki itu selain perselisihan atau kekesalan pada istri mudanya dan si wanita akan menerimanya dengan sabar.

Tapi, selalu begitu, setelah ia kembali mengandung, suaminya akan segera pergi kembali pada istri mudanya, dan kembalilah ia berjuang terlunta-lunta dengan janin dalam kandungan. Tercatatlah, sembilan anak terlahir dari rahimnya, seorang di antaranya meninggal karena kekurangan air susu. Asinya tidak keluar oleh karena nyaris tak ada makanan layak yang ia konsumsi.

Di lain waktu, pernah selama beberapa minggu ia -berikut anak-anaknya-tidak makan nasi. Tidak ada beras tersisa. Kendati suaminya hidup berkecukupan bahkan boleh dibilang kaya, -- saat itu, suaminya menjabat kepala desa-ia tak hendak meminta, apalagi menuntut. Untuk bertahan hidup, ia dan anak-anaknya memakan daun-daunan yang direbus dengan campuran sedikit beras hasil utang. Jika waktu makan tiba, ia kumpulkan anak-anak, duduk melingkar memutari kuali tanah berisi bubur daun-daunan tersebut dengan masing-masing memegang satu piring. Lantas, pada piring masing-masing dituang bubur encer terebut. Sungguh jauh dari cukup, apalagi rasa kenyang. Sementara... suami dan istri mudanya sekaligus anak-anak mereka makan dengan kenyang dan berlebihan.

Jika malam tiba, gubuk reot yang ia huni itu penuh rebak dengan cerita. Wanita ini gemar sekali mendongeng untuk anak-anaknya; satu-satunya hiburan yang bisa ia berikan pada anak-anak. Dengan sebuah lentera kecil yang berkedip-kedip ditiup angin, ia mendongeng Timun Mas, Kepel, Lutung Kasarung, Roro Mendut-Pronocitro, Minakjinggo-Kenconowungu, dan sekian lagi dongeng yang ia kreasi sendiri. Anak-anaknya mendengarkan dengan mata berbinar-binar. Kadang-kadang pula ia mengajarkan tembang-tembang dolanan yang menjadi senandung riang pembawa semangat anak-anaknya. Sambil bercerita itu, tangannya tak henti bekerja, kadang-kadang sampai larut malam; menganyam tikar pandan pesanan tetangga, mengupas singkong, oncek dhele, prithil kacang, pipik jagung... pekerjaan-pekarjaan khas para petani yang darinya ia peroleh upah tak seberapa.

Lantas, sementara ia terus mendongeng, satu per satu anak-anaknya terlelap di atas tikar yang berlubang dan bertambal-tambal di sana-sini. Setelah anak-anaknya tertidur, serentak, wajahnya yang semula berbinar-binar tanpa duka itu meredup. Ia menatap anak-anaknya yang tidur dengan mulut menganga dan perut berkeriut. Napasnya cekat. Tanpa permisi, air mata berbondong-bondong keluar oleh tindihan rasa nelangsa. Ya... di saat yang sama, suami dan istri mudanya berikut anak-anak mereka terlelap di atas kasur dengan selimut hangat dan perut kekenyangan.

Baginya, duka itu adalah miliknya sendiri. Jangan sampai memberi anak linangan air mata. Jangan sampai ia berikan duka.

Dirinya masih harus merunut malam yang jauh. Dia tak berpikir akan bertahan hidup, tapi ia tak akan mengakhiri sendiri dengan bodoh; kendati sebenarnya itu pernah terlintas dalam benaknya.

“Saya tak percaya saya masih hidup sampai hari ini,” ujarnya bertahun-tahun setelah itu. Yang ada dalam pikirannya adalah 'hidup dan bertahan'. Ia harus menyelesaikan semua itu dengan cara-cara pahlawan.

Dengan menjadi buruh tani, ia terus mengais. Pekerjaan itu nyaris tak menjanjikan apa-apa. Tak jarang, ia bekerja di sawah suaminya sendiri sebagai buruh dengan upah yang tidak lebih besar dari buruh yang lain, bahkan cenderung lebih kecil. Entah, bagaimana ia mampu menjalani semua itu.

Lantas, satu per satu anaknya lulus sekolah. Yang pertama menyelesaikan SMP, yang kedua bertahan hanya sampai SD, sedangkan yang ketiga tak mampu menyelesaikan pendidikan terendah sekalipun kendati justru ia anak paling cerdas di antara anak-anaknya yang lain. Bersama, ketiga anak ini memutuskan merantau ke Jakarta. Tentu saja tak begitu ada harapan bekerja di tempat yang nyaman. Ketiganya... menjadi pembantu. Tapi, kendati sedikit, ketiganya mulai bisa mengirim uang untuk orang tua dan adik-adiknya.

Begitulah, wanita ini telah mengatur rupiah dengan begitu cermat. Ia bahkan tak menyentuh uang-uang kririman itu, tapi kesemuanya digunakan untuk membiayai sekolah lima anaknya yang lain. Cukup ajaib, kelima anaknya tersebut berhasil menamatkan jenjang SLTA.

Hari-hari lesap ke bulan dan bulan tenggelam dalam tahun. Seperti hidupnya, waktu tidak berhenti berjalan. Satu per satu anaknya lulus, bekerja ... dan menikah. Biaya sekolah tidak melulu ditanggung anak pertama, tetapi selalu demikian... setiap ada yang lulus dan mulai bekerja, ia bertugas melanjutkan estafet amanah itu.

Lagi-lagi, keajaiban dan bukti bahwa Allah Mahakasih, empat dari anak-anaknya tersebut lulus tes menjadi pegawai negeri sipil, sebuah pekerjaan yang cukup bergengsi untuk ukuran daerahnya. Saat sekolah pun, rata-rata mereka mendapat beasiswa atau keringanan biaya sebagai kompensasi dari prestasi yang diraih... atau minimal menjadi juara kelas. Namanya pun menjadi legenda di masyarakatnya bahwa anak-anaknya maupun cucu-cucunya pasti cerdas dan sukses.

Bolehlah dikatakan begitu. Untuk ukuran orang seperti dirinya, tentulah apa yang ada sekarang ini merupakan sukses yang tidak terbilang. Masing-masing anaknya di Jakarta telah memiliki hunian yang layak -kendati kecil--, anak pertamanya malah berhasil masuk tes PNS di Mabes Polri kendati hanya dengan ijazah SMP. Anak-anaknya pun nyaris semua cukup disegani di lingkungannya, hal mana tidak demikian dengan anak-anak suaminya dari istri mudanya.

Tahun 2002, rumah yang ia huni yang dibangun anak-anaknya pada tahun 1988, ambruk. Kondisinya memang telah reot. Anak-anaknya bukan tidak tahu, tapi mereka tidak memperbaikinya dalam kurun yang cukup lama itu disebabkan mereka dilarang oleh sang ayah -suami dari wanita ini-untuk memperbaiki.

Laki-laki itu mungkin hatinya terbuat dari batu, tak juga bisa belajar dari kejadian-kejadian yang ia alami. Tahun 1988, saat anak terakhir dari istrinya berusia 10 tahun, ia kembali terpikat wanita lain; seorang janda muda dari kampung sebelah. Karena tak bisa menikah resmi, keduanya -entahlah, mungkin nikah di bawah tangan-tinggal serumah.

Kali ini, wanitanya tak 'sebaik' dan sesabar' dua istrinya terdahulu. Hartanya habis dalam bilangan tahun. Dan... empat tahun kemudian, jabatannya sebagai kepala desa berakhir.

Hidup dengan sisa-sisa kejayaan masa lalu, wanita muda ini tidak bertahan. Ia memilih pergi meninggalkan si lelaki yang kini tak lagi bisa mencukupi kebutuhannya.

Lantas, seperti roda... hidup berputar. Allah terus memperjalankan takdirnya yang tak terkata namun bagian dari hal paling tetap dan niscaya. Bukan karma. Lelaki ini menjalani hidupnya sendiri, menjadi buruh tani -karena sawahnya telah habis terjual-dan tinggal di kesunyian rumahnya: tanpa anak dan istri.

Sementara istrinya -si wanita ini-mulai merasai kebahagiaan dari hidup yang lebih layak, riang dipenuhi jeritan manja cucu-cucu dan rengekan mereka.

Maka, meradanglah si lelaki saat anak-anaknya berniat membangun sebuah rumah untuk ibunya karena rumah yang kemarin rubuh. Tak hanya fitnah, teror pun dilangsungkan. Anak-anaknya tak menyerah, tetap berusaha membangun rumah itu karena memang sudah tidak bisa ditunda lagi. Dulu mereka menahan-nahan niat tersebut selama bertahun-tahun, dan sekarang tak bisa lagi.

Tersebutlah, di suatu malam, si wanita -istrinya yang telah ditelantarkan itu-mendengar suara berisik ayam-ayam di kandang. Berjingkat, ia membuka pintu belakang rumah. Masih sempat sekilas ia melihat suaminya menaburkan sesuatu di sudut luar rumah. Kendati dalam remang, ia masih bisa mengenali bahwa sosok itu adalah suaminya.

Paginya, tiba-tiba ia lumpuh. Tubuhnya lemah dan tak bisa berdiri. Orang-orang menduga itu teluh. Setelah dirawat beberapa saat di RS, alhamdulillah ia sembuh.

Teror tak berhenti. Suaminya, secara terbuka, mendoakan agar kayu-kayu rumahnya keropos dimakan rayap. Dan doanya terkabul, tapi kali ini bukan pada rumah si wanita, melainkan rumahnya sendiri. Beberapa waktu kemudian ia mengancam akan membakar rumah itu, dan sekali lagi, rencana itu -kendati bukan dia-terlaksana. Juga bukan pada rumah si wanita, melainkan rumahnya sendiri. Karena lupa memadamkan api di tungku, rumah belakangnya terbakar.

Itu semua belum berakhir. Dalam kesendirian yang diliputi rasa dengki dan iri, ia mendoakan agar si wanita ini diserang penyakit. Dan lagi.... doanya terkabul, juga bukan untuk si wanita, tapi untuk dirinya sendiri. Tiba-tiba, orang-orang menemukan lelaki itu tak bisa bicara dan sebelah tubuhnya lumpuh. Ia terserang stroke untuk pertama kali yang sekaligus masuk dalam stadium kritis.

Anak-anaknya membawanya ke rumah sakit.

Dan... kejadian hari itu adalah bak sebuah drama nyata. Sebuah babak yang luar biasa indah saat si wanita -dengan langkah ragu dan bergetar, sebagian oleh sisa perjalanan yang membuatnya mabuk darat-menjenguk bekas suaminya yang tergolek di rumah sakit. Ada pancaran iba dan kasih yang tulus saat ia meraba, mengusap, dan bertanya tentang kabar dengan terbata-bata. Mesra sekali saat ia memijit kaki lelaki itu.

“Piye rasane, Mbah?” tanyanya dengan panggilan mesra. Mbah? Aduhai, nyaman sekali. Saat belum punya anak, ia memanggil lelaki ini dengan sebutan 'Kakang,' saat sudah punya anak dengan sebutan 'Pak', dan saat telah dianugerahi cucu demikian banyak, ia memanggilnya 'Mbah'

Gemetar, tangan kiri lelaki ini -karena tubuh bagian kanannya lumpuh-menggenggam tangan renta yang mengusap keningnya, seakan ia menikmati belaian lembut tersebut dan menahannya sesaat agar jangan terlalu cepat sirna. Kendati pandangannya dibuang ke sisi lain menghindari wajah -bekas-istrinya ini, ia tak bisa mengingkari ada lautan maaf dan cinta yang telah menggelombanginya.

Melihatnya, saya tak kuasa menahan isak. Seperti lelaki itu, tangis saya cekat di kerongkongan sementara air mata sudah berbondog-bondong menitik tanpa bisa dicegah lagi. Sesak sekali dada saya oleh rasa haru yang menekan-nekan.

Ya... melihat wanita ini, saya seperti tenggelam dalam laut kesabaran. Dan... dialah wanita tercantik yang pernah saya jumpai di dunia ini. Dia... tak lain adalah ibu saya.

Ya Allah... ampunilah dosanya, maafkanlah kesalahannya dan kasihilah dia sebagaimana ia mengasihi kami dalam suka dan duka.

Sakti Wibowo [abu_ahmadi at yahoo dot co dot in]

Malam 1 Juni 03
Kenangan dan doa untuk Bundaku, orang paling berharga dalam hidupku.

(Tulisan ini terlah termuat dalam buku “Diari Kehidupan 1,” PT Syaamil Cipta Media, Bandung, 2004)


sumber : eramuslim

Menjadi Apa pun Dirimu



Menjadi karang-lah, meski tidak mudah. Sebab ia ‘kan menahan sengat binar mentari yang garang. Sebab ia ‘kan kukuh halangi deru ombak yang kuat menerpa tanpa kenal lelah. Sebab ia ‘kan melawan bayu yang keras menghembus dan menerpa dengan dingin yang coba membekukan. Sebab ia ‘kan menahan hempas badai yang datang menggerus terus-menerus dan coba melemahkan keteguhannya. Sebab ia ‘kan kokohkan diri agar tak mudah hancur dan terbawa arus.Sebab ia ‘kan berdiri tegak berhari-hari, bertahun-tahun, berabad-abad, tanpa rasa jemu dan bosan.

Menjadi pohon-lah yang tinggi menjulang, meski itu tidak mudah. Sebab ia ‘kan tatap tegar bara mentari yang terus menyala setiap siangnya. Sebab ia ‘kan meliuk halangi angin yang bertiup kasar. Sebab ia ‘kan terus menjejak bumi hadapi gemuruh sang petir. Sebab ia ‘kan hujamkan akar yang kuat untuk menopang. Sebab ia ‘kan menahan gempita hujan yang coba merubuhkan. Sebab ia ‘kan senantiasa berikan bebuahan yang manis dan mengenyangkan. Sebab ia ‘kan berikan tempat bernaung bagi burung-burung yang singgah di dahannya. Sebab ia ‘kan berikan tempat berlindung dengan rindang daun-daunnya.

Menjadi paus-lah, meski itu tak mudah. Sebab dengan sedikit kecipaknya, ia akan menggetarkan ujung samudera. Sebab besar tubuhnya ‘kan menakutkan musuh yang coba mengganggu. Sebab sikap diamnya akan membuat tenang laut dan seisinya.

Menjadi elang-lah, dengan segala kejantanannya, meski itu juga tidak mudah. Sebab ia harus melayang tinggi menembus birunya langit. Sebab ia harus melanglang buana untuk mengenal medannya. Sebab ia harus melawan angin yang menerpa dari segala penjuru. Sebab ia harus mengangkasa jauh tanpa takut jatuh. Sebab ia harus kembali ke sarang dengan makanan di paruhnya. Sebab ia harus menukik tajam mencengkeram mangsa. Sebab ia harus menjelajah cakrawala dengan kepak sayap yang membentang gagah.

Menjadi melati-lah, meski tampak tak bermakna. Sebab ia ‘kan tebar harum wewangian tanpa meminta balasan. Sebab ia begitu putih, seolah tanpa cacat. Sebab ia tak takut hadapi angin dengan mungil tubuhnya. Sebab ia tak ragu hadapi hujan yang membuatnya basah. Sebab ia tak pernah iri melihat mawar yang merekah segar. Sebab ia tak pernah malu pada bunga matahari yang menjulang tinggi. Sebab ia tak pernah rendah diri pada anggrek yang anggun. Sebab ia tak pernah dengki pada tulip yang berwarna-warni. Sebab ia tak gentar layu karena pahami hakikat hidupnya.

Menjadi mutiara-lah, meski itu tak mudah. Sebab ia berada di dasar samudera yang dalam. Sebab ia begitu sulit dijangkau oleh tangan-tangan manusia. Sebab ia begitu berharga. Sebab ia begitu indah dipandang mata. Sebab ia tetap bersinar meski tenggelam di kubangan yang hitam.

Menjadi kupu-kupulah, meski itu tak mudah pula. Sebab ia harus melewati proses-proses sulit sebelum dirinya saat ini. Sebab ia lalui semedi panjang tanpa rasa bosan. Sebab ia bersembunyi dan menahan diri dari segala yang menyenangkan, hingga kemudian tiba saat untuk keluar.

Karang akan hadapi hujan, terik sinar mentari, badai, juga gelombang. Elang akan menembus lapis langit, mengangkasa jauh, melayang tinggi dan tak pernah lelah untuk terus mengembara dengan bentangan sayapnya. Paus akan menggetarkan samudera hanya dengan sedikit gerakan. Pohon akan hadapi petir, deras hujan, silau matahari, namun selalu berusaha menaungi. Melati ikhlas ‘tuk selalu menerima keadaannya, meski tak terhitung pula bunga-bunga lain dengan segala kecantikannya. Kupu-kupu berusaha bertahan, meski saat-saat diam adalah kejenuhan. Mutiara tak memudar kelam, meski pekat lingkungan mengepungnya di kiri-kanan, depan dan belakang.

Tapi karang menjadi kokoh dengan segala ujian. Elang menjadi tangguh, tak hiraukan lelah tatkala terbang melintasi bermilyar kilo bentang cakrawala. Paus menjadi kuat dengan besar tubuhnya dalam luas samudera. Pohon tetap menjadi naungan meski ia hadapi beribu gangguan. Melati menjadi bijak dengan dada yang lapang, dan justru terlihat indah dengan segala kesederhanaan. Mutiara tetap bersinar dimanapun ia terletak, dimanapun ia berada. Kupu-kupu hadapi cerah dunia meskipun lalui perjuangan panjang dalam kesendirian.

Menjadi apapun dirimu…, bersyukurlah selalu. Sebab kau yang paling tahu siapa dirimu. Sebab kau yakini kekuatanmu. Sebab kau sadari kelemahanmu.

Jadilah karang yang kokoh, elang yang perkasa, paus yang besar, pohon yang menjulang dengan akar menghujam, melati yang senantiasa mewangi, mutiara yang indah, kupu-kupu, atau apapun yang kau mau. Tapi, tetaplah sadari kehambaanmu.

sumber : eramuslim

Beda Orang Jepang Dengan Orang Indonesia

1. Ketika di kendaraan umum:
Jepang: Orang2 pada baca buku atau tidur.
Indonesia: Orang2 pada ngobrol, ngegosip, ketawa-ketiwi cekikikan, ngelamun, dan tidur.

2. Ketika makan dikendaraan umum:
Jepang: Sampah sisa makanan disimpan ke dalam saku celana atau dimasukkan ke dalam tas, kemudian baru dibuang setelah nemu tong sampah.
Indonesia: Dengan wajah tanpa dosa, sampah sisa makanan dibuang gitu aja di kolong bangku/dilempar ke luar jendela.

3. Ketika dikelas:
Jepang: Yang kosong adalah bangku kuliah paling belakang.
Indonesia: Yang kosong adalah bangku kuliah paling depan.

4. Ketika dosen memberikan kuliah:
Jepang: Semua mahasiswa sunyi senyap mendengarkan dengan serius.
Indonesia: Tengok ke kiri, ada yg ngobrol. Tengok ke kanan, ada yg baca komik. Tengok ke belakang, pada tidur. Cuman barisan depan aja yg anteng dengerin, itu pun karena duduk pas di depan hidung dosen!

5. Ketika diberi tugas oleh dosen:
Jepang: Hari itu juga, siang/malemnya langsung nyerbu perpustakaan atau browsing internet buat cari data.
Indonesia: Kalau masih ada hari esok, ngapain dikerjain hari ini!

6. Ketika shalat jum'at dimesjid:
Jepang: Jamaah berebut duduk di shaf terdepan.
Indonesia: Jamaah berebut nyari tempat pw (posisi wuenak) di deket tembok paling belakang biar bisa nyender/di bawah kipas angin biar gak kepanasan & tidurnya nyenyak.

7. Ketika terlambat masuk kelas:
Jepang: Memohon maaf sambil membungkukkan badan 90 derajat, dan menunjukkan ekspresi malu + menyesal gak akan mengulangi lagi.
Indonesia: Slonong boy & slonong girl masuk gitu aja tanpa bilang permisi ke dosen sama sekali.

8. Ketika dijalan raya:
Jepang: Mobil sangat jarang (kecuali di kota besar). Padahal jepang kan negara produsen mobil terbesar di dunia, mobilnya pada ke mana ya?
Indonesia: Jalanan macet, sampe2 saya susah nyebrang & sering keserempet motor yg jalannya ugal-ugalan.

9. Ketika jam kantor:
Jepang: Jalanan sepiiiii banget, kayak kota mati.
Indonesia: Ada Oknum pake seragam coklat2 pada keluyuran di mall-mall.

10. Ketika buang sampah:
Jepang: Sampah dibuang sesuai jenisnya. Sampah organik dibuang di tempat sampah khusus organik, sampah anorganik dibuang di tempat sampah anorganik.
Indonesia: Mau organik kek, anorganik kek, bangke binatang kek, semuanya tumplek jadi 1 dalam kantong kresek.

11. Ketika berangkat kantor:
Jepang: Berangkat naik kereta/bus kota. Mobil cuma dipake saat acara keluarga atau yg bersifat mendesak aja.
Indonesia: Gengsi dooonk... Masa' naik angkot?!

12. Ketika janjian ketemu:
Jepang: Ting...tong...semuanya datang tepat pada jam yg disepakati.
Indonesia: Salah 1 pihak pasti ada dibiarkan sampai berjamur & berkerak gara2 kelamaan nunggu!

13. Ketika berjalan dipagi hari:
Jepang: Orang2 pada jalan super cepat kayak dikejar doggy, karena khawatir telat ke kantor/sekolah.
Indonesia: Nyantai aja cing...! Si boss juga paling datengnya telat!

Lelaki Shalih Itu...

 Di mataku, lelaki shalih adalah lelaki sederhana, tawadhu, sabar, dan tentu saja baik pemahaman agamanya. Kalau menurut akhwat lain, mungkin bisa berbeda-bedakan?

Keshalihan seorang akhwat,juga bisa menentukan kriteria apa saja yang harus dimiliki sang ikhwan,hingga bisa menjadi imam yang ia butuhkan. Seorang akhwat hafidzah boleh kan dan bisa dipastikan,pasti mengharapkan seorang ikhwan yang hafidz juga sebagai suaminya…^^

387890 320234251320511 100000018151442 1351224 932083431 n Lelaki Shalih itu...Ya,tentang sosok lelaki shalih. Apakah antum sudah cukup shalih?sehingga merasa pantas mendapatkan seorang akhwat shalihah itu. Ya,cobalah tengok disekitar antum,pasti ada banyak akhwat yang begitu shalihah dan begitu anggun dalam balutan jilbabnya, kiprahnya dalam dakwah semakin memancarkan pesonanya…
Pernah mengagumi seorang akhwat seperti itu? mungkin saja,dan aku menduga antum bisa jadi pernah atau bahkan sekarang malah sedang merasakannya?^^ Bagi antum yang masih sendiri (baca: belum menikah) bisa jadi kekaguman itu menjadi sesuatu yang begitu mengusik hati. Ya gak sih? aku sok tau nih.hehehe
Apa antum tahu?sebenarnya akhwat juga begitu lho. Jangan salah kira,sikap diam para akhwat berarti mereka tak peduli ato malah mati rasa. # haduuh
***^^***
“ada beberapa hal yang perlu diluruskan tentang interaksi kita akhi” kata seorang akhwat berbalut jilbab ungu itu dengan pandangan semakin tertunduk.
“ada apa ukht? adakah yang salah dengan sikap ana selama ini?” tanya ikhwan di hadapan akhwat itu.
“ya,banyak. Tapi mungkin antum selama ini tidak menyadarinya…”
“apa itu ukhti? bisakah anti jelaskan,agar ana lebih paham”
“tolong akhi,bersikaplah lebih bijak di depan ana,mugkin antum merasa sikap antum biasa saja, tapi tidak bagi ana…afwan” suara akhwat itu kian tercekat.
***^^***
Antum pernah “dibegitukan” sama akhwat? kalo iya, berarti memang ada yang perlu diperbaiki dari sikap antum sekalian. Bukan menggurui. Tapi,ini berdasarkan pengalaman pribadi yang cukup mengusikku waktu SMA dulu.
Taukah akhi? tiap senyum kalian,kalimat-kalimat sapaan bernada perhatian dalam sms dari kalian,mungkin antum anggap itu hal biasa. Tapi apa iya bagi mereka,akhwat yang hatinya begitu peka. Bisa jadi semua yang berasal dari antum bukannya menguatkan,tapi justru hanya akan semakin mengganggu dan menggoyahkan imannya. Ia, yang awalnya begitu ikhlas berdakwah bisa jadi karena perhatian kalian,niatnya jadi terkotori. Karena memang fitrah wanita,yang sebenarnya suka dipuji,walau tak semua begitu..
Taukah antum?bahwa hati seorang wanita itu begitu lembut?sedikit saja antum taburkan “benih”, bila ia terus menyiraminya maka benih itu akan tumbuh kian subur di hatinya. Betapa kasiannya bila ia,hampir tiap malam teringat padamu akhi,ikhwan yang belum tentu jadi imam baginya…
Lalu? apa yang harus antum lakukan? ahh,rasanya aku tak perlu menjelaskan karena aku tau,antum semua jauh lebih paham dariku yang miskin ilmu ini..
Hanya saja,aku ingin berpendapat dari sudut pandang seorang akhwat. Seorang ikhwan yang shalih tak akan pernah berkata “ukhti..ana mengagumi anti, bahkan ana telah jatuh cinta pada anti, maukah anti menunggu sampai ana siap mengkhitbah anti?”
Ya. Lelaki shalih tak akan berkata begitu. apakah antum tau apa efek dari pertanyaan itu? bisa jadi, hati akhwat itu kian rapuh. Apa antum tega? membuatnya menunggu dalam ketidakpastian? karena sebelum akad nikah,segala hal masih bersifat tidak pasti bukan? apalagi bila kita hanya bergantung pada hati seorang anak manusia yang tiap detiknya bisa terbolak balik. Betapa kasian ia ketika harus berharap pada sesuatu yang belum jelas ujungnya…
Lelaki shalih seharusnya ketika ia jatuh cinta, maka ia akan menyimpan sendiri perasaan itu rapat-rapat dalam hatinya dan hanya mengizinkan Allah saja yang tahu. Ia akan terus memperbaiki diri hingga dirasa siap dan pantas untuk mengkitbah akhwat itu pada saat yang tepat.Dan lelaki shalih akan berkata “ukhti,mungkin ana bukanlah lelaki yang sempurna keshalihannya…tapi ana hanyalah seorang laki-laki yang selalu berusaha menjadi lebih baik dan ingin segera digenapkan diennya hingga sempurna, maka maukah anti menjadi akhwat penggenap dien ana itu?”
Ya,lelaki shalih tak kan pernah meminta untuk menunggu. Ia hanya akan mengambil kesempatan atau akan berkorban mempersilahkan saudaranya yang lain. Seperti kisah Ali bin Abi Thalib dan Fatimah.
Akhi…bisakah aku minta tolong? tolong jaga saudari-saudariku yaaa. Jaga hati mereka, hingga tetap utuh sampai antum bisa mempersuntingnya dalam sebuah Mitsaqan Ghalidza itu^^Copas from Ukhti Adinda Indah Al-Mahmudah

Saudaraku, tanyakan kepada dirimu, siapa engkau sebenarnya?

Saya ingin bertanya kepadamu, sebuah pertanyaan terbuka yang membutuhkan jawaban yang pasti, “Siapakah engkau yang sebenarnya?”
Engkau jangan menjawab dengan mengatakan, “Dokter Fulan, Insinyur Fulan, Profesor Fulan, ataupun Syaikh Fulan.”
Bukan itu yang saya tanyakan. Yang saya tanyakan, siapakah engkau di sisi Allah Rabb Semesta Alam? Apa jawabannya? Katakan kepadaku, siapa engkau sebenarnya? Apakau engkau si Fulan sang pendusta, atau sang penipu, atau yang suka pamer, ataukah si munafik, ataukah..?
Atau, apakah engkau Fulan yang beriman, atau yang bertauhid, atau engkau si Fulan yang selalu shalat malam, atau engkau si Fulan yang suka berpuasa, atau engkau si Fulan yang menegakkan keadilan, atau engkau si Fulan yang selalu berdzikir, atau engkau si Fulan yang jujur..? Siapakah engkau sebenarnya?
Jawablah pertanyaanku sekarang juga, wahai saudaraku! Sebelum jati dirimu disingkap kelak di hadapan para saksi, pada hari dinampakkan semua rahasia, hari dimana diungkapnya semua cela dan aib. Maka pada hari itu tidak ada yang lebih sengsara dan lebih celaka daripada dirimu sendiri.
Saudaraku,
Saya ingin bertanya kepadamu. Apakah peranmu di sisi Allah?
Kebanyakan dari kita beramal hanya untuk kepentingan diri kita sendiri, dan lupa terhadap Allah yang telah menciptakannya. Lalu, apa peranmu sebagai pelayan Allah?
Jika engkau katakan, “Tidak ada sama sekali.” Maka, engkau juga tak ada nilainya sama sekali. Kalau engkau tidak punya peran sama sekali di sisi Rabbmu, maka berarti engkau tak berguna sama sekali di dunia ini, dan tidak berharga sama sekali di sisi Allah. Karena sesungguhnya nilai seorang hamba di sisi Allah adalah tatkala seorang hamba mengagungkan asma Allah, dengan demikian tertanam dalam hati makna keagungan Allah. Bila demikian adanya, maka mustahil engkau menyeru berdakwah menuju jalan Allah dengan banyak berpangku tangan seperti keadaanmu sekarang ini.
Saudaraku yang tercinta,
Janganlah engkau menipu dirimu sendiri. Engkau lebih tahu jati dirimu sendiri. Jangan engkau katakan, “Dahulu saya begini.. dan itu telah terjadi.. nantilah saya akan…” Ungkapan seperti ini adalah jerat-jerat setan. Tanyakan pada dirimu dengan jujur sekarang juga, “Siapa saya sebenarnya di sisi Allah?”
Bila engkau dapatkan dirimu berada di lembah kehinaan, maka ingatkan dirimu, sampai kapan keadaan ini terus berlangsung. Bila terbesit pada dirimu bisikan yang membuat putus asa, maka ingatkanlah dirimu bahwa Allah Maha Pengasih. Namun jika engkau mengandalkan rahmat Allah tanpa beramal, maka engkau benar-benar tertipu. Orang yang berprasangka baik terhadap Allah pasti akan memperbaiki amalnya. Adapun nasib orang-orang yang terpedaya, kelak akan nampak hal-hal yang tidak mereka sangka sebelumnya sebagai balasan dari Allah.
Tetapi apabila engkau dalam kebaikan, maka yang pertama kali harus engkau jauhi adalah agar engkau jangan terkecoh dengan kebaikanmu dan berlaku ujub. Tanyakan pada dirimu, “Mana rasa syukur saya terhadap nikmat..?” “Apakah yang ada padaku termasuk istidraj..?” Ketika imanmu selalu bertambah, itulah kunci keselamatanmu. Namun bila selalu berkurang, itulah bencana yang sungguh dahsyat, karena kematian bisa saja datang sekonyong-konyong. Padahal kala itu, engkau masih saja mengingat-ingat saat mendirikan shalat malam di suatu malam, atau ingat akan puasa yang engkau tunaikan pada suatu hari, dan justru engkau mengandalkan amalan yang tidak seberapa tersebut. Itu semua tidak akan berguna bagimu kalau engkau dalam keadaan demikian. Maka, apa yang dapat engkau perbuat ketika itu?

.dari buku “Sungguhkah Anda Ingin Masuk Surga”, Muhammad bin Husain Ya’qub, Pustaka Arafah