Sabtu, 15 September 2012

Yang Terlupa Dari Keikhlasan


Pemburu nilai, pemburu nilai di mata manusia!. Sampai kapan kau seperti itu?. Tidakkah kau menginginkan sesuatu yang lebih baik?. Kau hanya kagum pada orang-orang yang telah mendahuluimu. Mereka-mereka yang telah membuktikan apa yang mereka impikan. Mereka telah membuktikan bahwa mereka bisa. Sedangkan kau, ada apa denganmu?. Kau masih diam di sini. Membisu. Tidakkah kau berfikir bahwa kau pun bisa seperti mereka atau bahkan lebih?. Bergeraklah!. Ayo bangkit!. Lupakan semua penilaian manusia kepadamu!. Mereka hanya mengukurmu dari apa yang telah kau lakukan, sedangkan kau? Kau mengukur dirimu dari apa yang bisa kau lakukan. Masih banyak yang harus diperjuangkan. Bergeraklah, bangkitlah, dan ikhlaskan semuanya!.

***

Yang Terlupa Dari Keikhlasan

Ikhlas, suatu kata yang sudah tidak asing lagi di telinga kaum muslimin. Sebuah kata yang singkat namun sangat besar maknanya. Sebuah kata yang seandainya seorang muslim terhilang darinya, maka akan berakibat fatal bagi kehidupannya, baik kehidupan dunia terlebih lagi kehidupannya di akhirat kelak. Ya itulah dia, sebuah keikhlasan. Amal seorang hamba tidak akan diterima jika amal tersebut dilakukan tidak ikhlas karena Allah.
Allah berfirman yang artinya,
“Maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama kepada-Nya.” (Qs. Az Zumar: 2)
Keikhlasan merupakan syarat diterimanya suatu amal perbuatan di samping syarat lainnya yaitu mengikuti tuntunan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, “Perkataan dan perbuatan seorang hamba tidak akan bermanfaat kecuali dengan niat (ikhlas), dan tidaklah akan bermanfaat pula perkataan, perbuatan dan niat seorang hamba kecuali yang sesuai dengan sunnah (mengikuti Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam)”
Apa Itu Ikhlas ?
Banyak para ulama yang memulai kitab-kitab mereka dengan membahas permasalahan niat (dimana hal ini sangat erat kaitannya dengan keikhlasan), di antaranya Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya, Imam Al Maqdisi dalam kitab Umdatul Ahkam, Imam Nawawi dalam kitab Arbain An-Nawawi dan Riyadhus Shalihin-nya, Imam Al Baghowi dalam kitabMasobihis Sunnah serta ulama-ulama lainnya. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya keikhlasan tersebut. namun, apakah sesungguhnya makna dari ikhlas itu sendiri ?
Ukhti muslimah, yang dimaksud dengan keikhlasan adalah ketika engkau menjadikan niatmu dalam melakukan suatu amalan hanyalah karena Allah semata, engkau melakukannya bukan karena selain Allah, bukan karena riya (ingin dilihat manusia) ataupun sum’ah (ingin didengar manusia), bukan pula karena engkau ingin mendapatkan pujian serta kedudukan yang tinggi di antara manusia, dan juga bukan karena engkau tidak ingin dicela oleh manusia. Apabila engkau melakukan suatu amalan hanya karena Allah semata bukan karena kesemua hal tersebut, maka ketahuilah saudaraku, itu berarti engkau telah ikhlas. Fudhail bin Iyadh berkata, “Beramal karena manusia adalah syirik, meninggalkan amal karena manusia adalah riya.”
Dalam Hal Apa Aku Harus Ikhlas ?
Sebagian manusia menyangka bahwa yang namanya keikhlasan itu hanya ada dalam perkara-perkara ibadah semata seperti sholat, puasa, zakat, membaca al qur’an , haji dan amal-amal ibadah lainnya. Namun ukhti muslimah, ketahuilah bahwa keikhlasan harus ada pula dalam amalan-amalan yang berhubungan dengan muamalah. Ketika engkau tersenyum terhadap saudarimu, engkau harus ikhlas. Ketika engkau mengunjungi saudarimu, engkau harus ikhlas. Ketika engkau meminjamkan saudarimu barang yang dia butuhkan, engkau pun harus ikhlas. Tidaklah engkau lakukan itu semua kecuali semata-mata karena Allah, engkau tersenyum kepada saudarimu bukan karena agar dia berbuat baik kepadamu, tidak pula engkau pinjamkan atau membantu saudarimu agar kelak suatu saat nanti ketika engkau membutuhkan sesuatu maka engkau pun akan dibantu olehnya atau tidak pula karena engkau takut dikatakan sebagai orang yang pelit. Tidak wahai saudariku, jadikanlah semua amal tersebut karena Allah.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Ada seorang laki-laki yang mengunjungi saudaranya di kota lain, maka Allah mengutus malaikat di perjalanannya, ketika malaikat itu bertemu dengannya, malaikat itu bertanya, “Hendak ke mana engkau ?” maka dia pun berkata “Aku ingin mengunjungi saudaraku yang tinggal di kota ini.” Maka malaikat itu kembali bertanya “Apakah engkau memiliki suatu kepentingan yang menguntungkanmu dengannya ?” orang itu pun menjawab: “Tidak, hanya saja aku mengunjunginya karena aku mencintainya karena Allah, malaikat itu pun berkata “Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk mengabarkan kepadamu bahwa sesungguhnya Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintai saudaramu itu karena-Nya.” (HR. Muslim)
Perhatikanlah hadits ini wahai ukhti, tidaklah orang ini mengunjungi saudaranya tersebut kecuali hanya karena Allah, maka sebagai balasannya, Allah pun mencintai orang tersebut. Tidakkah engkau ingin dicintai oleh Allah wahai ukhti ?
Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah engkau menafkahi keluargamu yang dengan perbuatan tersebut engkau mengharapkan wajah Allah, maka perbuatanmu itu akan diberi pahala oleh Allah, bahkan sampai sesuap makanan yang engkau letakkan di mulut istrimu.” (HR Bukhari Muslim)
Renungkanlah sabda beliau ini wahai ukhti, bahkan “hanya” dengan sesuap makanan yang seorang suami letakkan di mulut istrinya, apabila dilakukan ikhlas karena Allah, maka Allah akan memberinya pahala. Bagaimana pula dengan pengabdianmu terhadap suamimu yang engkau lakukan ikhlas karena Allah ? bukankah itu semua akan mendapat ganjaran dan balasan pahala yang lebih besar? Sungguh merupakan suatu keberuntungan yang amat sangat besar seandainya kita dapat menghadirkan keikhlasan dalam seluruh gerak-gerik kita.
Berkahnya Sebuah Amal yang Kecil Karena Ikhlas
Ukhti muslimah yang semoga dicintai oleh Allah, sesungguhnya yang diwajibkan dalam amal perbuatan kita bukanlah banyaknya amal namun tanpa keikhlasan. Amal yang dinilai kecil di mata manusia, apabila kita melakukannya ikhlas karena Allah, maka Allah akan menerima dan melipat gandakan pahala dari amal perbuatan tersebut. Abdullah bin Mubarak berkata, “Betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar karena niat, dan betapa banyak pula amal yang besar menjadi kecil hanya karena niat.”
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Seorang laki-laki melihat dahan pohon di tengah jalan, ia berkata: Demi Allah aku akan singkirkan dahan pohon ini agar tidak mengganggu kaum muslimin, Maka ia pun masuk surga karenanya.” (HR. Muslim)
Lihatlah ukhti, betapa kecilnya amalan yang dia lakukan, namun hal itu sudah cukup bagi dia untuk masuk surga karenanya. Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallambersabda: “Dahulu ada seekor anjing yang berputar-putar mengelilingi sumur, anjing tersebut hampir-hampir mati karena kehausan, kemudian hal tersebut dilihat oleh salah seorang pelacur dari bani israil, ia pun mengisi sepatunya dengan air dari sumur dan memberikan minum kepada anjing tersebut, maka Allah pun mengampuni dosanya.” (HR Bukhari Muslim)
Subhanallah, seorang pelacur diampuni dosanya oleh Allah hanya karena memberi minum seekor anjing, betapa remeh perbuatannya di mata manusia, namun dengan hal itu Allah mengampuni dosa-dosanya. Maka bagaimanakah pula apabila seandainya yang dia tolong adalah seorang muslim ? Dan sebaliknya, wahai ukhti, amal perbuatan yang besar nilainya, seandainya dilakukan tidak ikhlas, maka hal itu tidak akan berfaedah baginya. Dalam sebuah hadits dari Abu Umamah Al Bahili, dia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang berperang untuk mendapatkan pahala dan agar dia disebut-sebut oleh orang lain?” maka Rasulullah pun menjawab: “Dia tidak mendapatkan apa-apa.” Orang itu pun mengulangi pertanyaannya tiga kali, Rasulullah pun menjawab: “Dia tidak mendapatkan apa-apa.” Kemudian beliau berkata: “Sesungguhnya Allah tidak akan menerima suatu amalan kecuali apabila amalan itu dilakukan ikhlas karenanya.” (Hadits Shahih Riwayat Abu Daud dan Nasai). Dalam hadits ini dijelaskan bahwa seseorang yang dia berjihad, suatu amalan yang sangat besar nilainya, namun dia tidak ikhlas dalam amal perbuatannya tersebut, maka dia pun tidak mendapatkan balasan apa-apa.
Buah dari Ikhlas
Untuk mengakhiri pembahasan yang singkat ini, maka kami akan membawakan beberapa buah yang akan didapatkan oleh orang yang ikhlas. Seseorang yang telah beramal ikhlas karena Allah (di samping amal tersebut harus sesuai dengan tuntunan RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam), maka keikhlasannya tersebut akan mampu mencegah setan untuk menguasai dan menyesatkannya. Allah berfirman tentang perkataan Iblislaknatullah alaihi yang artinya: Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, Kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas di antara mereka.” (Qs. Shod: 82-83). Buah lain yang akan didapatkan oleh orang yang ikhlas adalah orang tersebut akan Allah jaga dari perbuatan maksiat dan kejelekan, sebagaimana Allah berfirman tentang Nabi Yusuf yang artinya “Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang ikhlas. “ ( Qs. Yusuf : 24). Pada ayat ini Allah mengisahkan tentang penjagaan Allah terhadap Nabi Yusuf sehingga beliau terhindar dari perbuatan keji, padahal faktor-faktor yang mendorong beliau untuk melakukan perbuatan tersebut sangatlah kuat. Akan tetapi karena Nabi Yusuf termasuk orang-orang yang ikhlas, maka Allah pun menjaganya dari perbuatan maksiat. Oleh karena itu wahai ukhti, apabila kita sering dan berulang kali terjatuh dalam perbuatan kemaksiatan, ketahuilah sesungguhnya hal tersebut diakibatkan minim atau bahkan tidak adanya keikhlasan di dalam diri kita, maka introspeksi diri dan perbaikilah niat kita selama ini, semoga Allah menjaga kita dari segala kemaksiatan dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang ikhlas. Amin ya Rabbal alamin.
Artikel www.muslimah.or.id 
***

Sabtu, 08 September 2012

Bersyukurlah Selalu


Makassar siang hari, tiga dua derajat celcius, panas!. Aku menyusuri jalan sambil sesekali menunduk, berusaha menghindarkan wajahku dari panas sinar mentari yang membakar. Deuh... seharusnya aku tidak keluar saat cuaca sepanas ini. Rasanya pengen cepat-cepat sampai rumah. Seorang supir angkutan umum berseru, “Limbung-Takalar..!”. Tertulis di kaca depan mobil merah tersebut “Nanabase”, singkatan dari “Naik naung banngimi seng”, ini kendaraan yang berputar-putar di jalur Makassar-Takalar. Tak ingin lama berpanas-panas, langsung saja aku naik ke angkutan umum itu.
Sepanjang perjalanan pulang aku hanya diam, menyaksikan hiruk-pikuk kota Makassar tengah hari. Kendaraan lalu-lalang, pedagang yang sibuk menjajakan dagangannya, angkutan umum yang sesekali berhenti untuk menaikkan ataupun menurunkan penumpang, dan segala macam toko di pinggir jalan. Perhatianku teralih saat menyaksikan dua orang ibu paruh baya di hadapanku yang berkomunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat. Lama aku memperhatikan mereka, ternyata bukan hanya yang dua orang tadi, tapi masih ada dua orang yang lainnya; seorang ibu yang kutaksir umurnya kira-kira tiga puluh tahunan, di sampingnya duduk seorang laki-laki yang kemungkinan umurnya tidak jauh dari ibu-ibu tadi. Mereka semua berbicara dengan menggunakan bahasa isyarat. Masya Allah.. ternyata keempat-empatnya tunarungu. Mereka asyik berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang hanya dimengerti oleh mereka. Aku tertarik untuk memperhatikan saat mereka menunjuk objek di luar mobil, entah itu suatu bangunan atau apalah, kemudian mereka menggunakan tangan, mimik wajah, dan beberapa macam gerakan yang sama sekali tak kumengerti. Mereka terus saja berkomunikasi satu sama lain, sama sekali tak terganggu dengan dunia luar, tak juga memperdulikanku yang dari tadi memperhatikan mereka, seakan dunia mereka adalah milik mereka sendiri. Melihat mereka, aku bertanya pada diriku sendiri, “tidakkah seharusnya aku bersyukur?”. Aku yang begitu banyak memperoleh nikmat dari Allah, tapi kadang masih saja merasa kekurangan. Maha Suci Allah Yang telah menciptakan makhluk-Nya dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Kamis, 06 September 2012

Santai Sejenak


Cinta ooh cinta... selalu saja menjadi topik yang menarik. Berbicara tentang cinta memang tak ada habis-habisnya!. Kayak tadi, saat kami menunggu pukul 9 malam, waktu pulang untuk petugas rumah sakit yang dinas sore. Sambil menunggu berjalannya waktu, mahasiswa-mahasiswa maupun petugas lab melakukan kegiatannya sendiri-sendiri. Teman-temanku: Asti menulis laporan, Bunga cerita-cerita sama Ayu di ruang tunggu lab, Nanda nonton film Korea yang ada di komputer lab.. yang lainnya nggak tau lagi ngapain. Aku sendiri menghitung waktu, menunggu jemputan (Papa tersayang), sambil duduk di antara Asti yang lagi nulis laporan, dan Nanda yang lagi nonton film Korea. Bosan liat jam, ganti liatin Asti yang terus saja sibuk dengan laporannya, trus ganti lagi liatin komputer yang ada di depan Nanda (di depanku juga), jadilah aku juga nonton tuh film. Wuih... temanya kayaknya tentang cinta-cinta lagi nih. Di filmnya diceritakan tentang cinta yang dipendam selama 9 tahun. Hohoho... aku jadi ikut terbawa haru-birunya nih. Sampe filmnya selesai, Papa belum datang-datang juga. Beruntung karena teman-teman magang yang dari UIT ngajakin ngobrol.
“Farah kayak orang Arab pake jilbab begitu. Cantik... cocok mukanya. Mirip... siapa ya? mirip itu yang di filmnya Dalam Mihrab Cinta, atau mirip siapa lagi itu namanya? Mirip Oki, Oki Setiana Dewi.”
Aku menengadah, berpaling dari layar komputer ke arah teman-teman. Trus nyengir kuda (itu kayak bagaimana ya?). hehe... jangan muji gitu dong, langsung besar nih kelapa, eh kepala. Asti sendiri yang dari tadi sibuk menulis melulu, berhenti menulis. Dia menoleh padaku sambil memasang pandangan menggoda. Hahaha... apa liat-liat, Asti? Ada utangku?.
Trus Rahmi, seperti wartawan, mewawancaraiku, “Bagaimana kabar Anda, Mbak Okki?”.
Sambil senyum, aku jawab, “alhamdulillah baik, Mbak”
“dengar-dengar kabar... Anda lagi dekat dengan Furqan ya? (Iryadi Arsyal... cocokmi?... siapa lagi namanya tuh yang perankan Furqan di film KCB? adduh... lupa bela)”.
Aku tertawa. Hahaha.. ada-ada aja nih anak.
“Farah, bagaimana kalau misalkan na tembakki` itu kayak Furqan?”.
“mati dong...”, jawabku.
“bukan tembak begitu, maksudnya menyatakan cinta...”, ku lihat mukanya bertanya, mimiknya lucu!. Hehehe... kayak orang serius. Ku jawab apa ya?. masalahnya untuk soal yang model begini sih belum pernah ku pelajari di sekolah maupun perkuliahan, jadinya gak tau mau jawab apa. Masalah tembak-menembak, jadi keingat masa muda dulu (sok tua niyh). Aku jadi ingat sama pertanyaan itu, “Bagaimana kalau misalkan  natembakki` NNN, Farah?”. Atau pertanyaan teman padaku waktu aku kelas I SMA, “bagaimana kalau mau betulanki Kak RRRRR sama qta`, Farah?”. Itu pertanyaan yang sering dilontarkan teman-teman SMP ataupun teman-teman SMA-ku dulu. Aku dulu sekolah di umum, SMA pun masuk SMA Negeri, kebetulan SMA Unggulan di daerahku. Jadi yaaa gitu deh, agak kena imbas sinetron tuh anak-anak sekolah. SMA-ku punya banyak sekali peraturan, kalo dilanggar, misalkan “datang terlambat”, “tidak mengikuti upacara setiap hari senin”, sampai kepada hal-hal detail seperti “tidak menggunakan topi, dasi, dan atribut selama upacara”, maka yang melanggar akan langsung diberi poin. Terus kalo poinnya sampe 100, maka langsung dikeluarkan dari sekolah. Murid seangkatanku sudah ada yang sampai dikeluarkan. Yaa gitu, dianya bandel, sering bolos, trus kadang tidak menghormati guru, gak tau lagi deh pelanggaran apa.
Sayangnya “Pacaran” tidak termasuk hal yang terlarang di SMA-ku. Namanya juga SMA negeri, beda sama pesantren, yang kalo ada santrinya sampe ketahuan pacaran, langsung dibotak atau dihukum berat-berat, atau mungkin dikeluarkan dari sekolah. SMA-ku yah kayak SMA biasa lainnya, fenomena berdua-duaan, ketemuan, boceng sana bonceng sini bukanlah hal yang luar biasa. Itu sudah sangat lumrah. Hanya orang-orang tertentu yang selamat (dijaga sama Allah mungkin yah). Aku kadang risih sendiri liat teman-teman yang mojok-mojok di belakang atau di sudut kelas, nggak malu apa? Apalagi sama teman yang sudah berkali-kali gonta-ganti pacar. Aku sangat bersyukur karena selamat dari hal-hal yang seperti ini.
Beruntung sekali karena Allah masih menganugrahkan padaku teman-teman yang baik: teman-teman di Rohis (Kerohanian Islam). Awal-awal masuk SMA, ketuanya langsung ngajak kami bergabung. Aku ya ikutlah... tiap pekan Rohis mengadakan kajian keagamaan, aku jadi bisa bareng teman-teman yang baik.
Situasi yang `agak mengganggu`, atau terkadang menggelikan juga adalah saat seorang teman sekelas cowok yang sering memandangiku. Kalo nggak punya kerjaan, biasanya dia akan berdiri di pintu, trus liatin aku terus (kenape? Ada utangku sama situ kah?). Kalo ada dia di pintu, aku jadi malas keluar kelas. Malas berhadapan sama tuh orang kurang kerjaan. Parahnya lagi kalo dia merasa nggak dipedulikan, dianya malah pergi ambil kursi trus duduk di depanku. Waah... kasian nih satu bocah, begini memang kalo nggak ada yang bimbing kasian. Hidup tak tentu arah, godain cewek nomor satu, giliran pelajaran... nomor satu juga, tapi dari belakang. Eh, tidakji towwa... tidak sampeji nomor satu dari belakang. Oh iya... untung tamengku kuat!. Aku mana berani macam-macam, Babe galak banget!. Kalau ketahuan berani macam-macam sama cowok, pokoknya siap-siap aja. Gak bakalan liat matahari esok. Pokoknya ngeri deh!. Untungnya Allah selalu menemaniku, membimbingku, menerangi hari-hariku. Prestasi sekolah adalah prioritas utama. Jangan sekolah kalo nggak berprestasi. Kayak sekarang juga, jangan kuliah kalo nggak sukses!.
Di sampingku, Asti masih berkutat dengan laporannya. Itu laporan selama dua minggu yang baru dikerja gara-gara buku laporannya dipinjam, baru dikembalikan sama teman. Nanda kembali membuka-buka file di komputer. Aku sendiri jadi penunggu setia. Bapak lama banget niyh... jangan-jangan lupa kalo di sini seorang puterinya menunggu kasian. Ku ambil bukuku, dan kuselesaikan laporan yang sisa satu halaman. Rahmi, teman dari UIT, ngajakin ngobrol.
“Saya toh senang sekali liatin Farah. Semakin diliat semakin menyenangkan. Beda sama Narti, semakin kuliati semakin mengantukka`”, asli bercanda niyh. Kami tertawa. Aku membela Narti, “masa` itu Narti nakasi` begituki`?”. Narti, berasal dari kampus yang sama dengan Rahmi, hanya tersenyum dan mengiyakan saja. Ambilmi beng.
Rahmi bertanya lagi, “Farah sejak kapan pakai jilbab besar?”
“Sejak pertama kuliah”
“bagaimana rasanya itu? Kenapa memutuskanki untuk berjilbab besar?”
Wow... kemarin juga waktu kami jalan bareng ke bangsal perawatan buat ambil sampel. Asti berkata padaku, “Ku suka sekali liat orang pake jilbab besar. Nanti saya maujaka juga pake. Tapi mau kukasi mantap dulu hatiku bela, soalnya saya gerak-gerikku masih tomboy sekali”.
Aku hanya tersenyum mendengarnya. Aku terharu. Ya Allah... berikan hidayah-Mu kepada saudariku ini. Berikan hidayah-Mu kepada kami semua... Wahai Yang Maha Membolak-balikkan hati, tetapkan hati kami di atas agama-Mu.. amin ya Rabb.
Aku menjawab pertanyaan Rahmi tadi, “hmm... bagaimana ya? untuk lebih menjaga diri saja. Waktu SMA dulu sempat ada beberapa teman cowok yang terfitnah (istilah lainnya naksir), dari sana ngambil pelajaran. Harus lebih menjaga diri niyh. Seorang perempuan, bagaimanapun akan selalu dilihat indah oleh laki-laki. Biar lagi itu tidak terlalu cantikji. Tapi syetan memang pintar menghias wanita itu, dijadikan indah pada pandangan laki-laki... trus pernahka juga baca ayat Al-Qur`an tentang perintah mengulurkan jilbab ke dada, itu artinya jilbab harus menutupi dada, tidak hanya batas leher. Dan memang dari bentuk tubuh saja, wanita sudah beda dengan pria kan? Bisa menggoda begitu kayaknya”. Bagaimanakah istilahnya yang benar? bingungka` juga bagaimana jelaskanki. wah, jadi malu niyh, kayak ustadzahka` saja. Soalnya yang mendengarkan juga masih pasang muka serius. Masih banyak lagi percakapan kami setelahnya. Rahmi juga sempat bertanya,
“deh... Farah. Cocokki` qta` sama orang kayak Furqan atau Dude`. Maujaki? Mauki ku kasi` kenal sama ustad?” hah?! Waduh?!.
Asti yang duduk di sampingku nyeletuk, “eh, tidak boleh. Sudahmi itu kupesan Farah sama kakakku saja. Ada kakakku cowok”. Wow... kenapa tong ini Asti na ada di sampingku saat cerita begituan? Matimija orang digodain kalo begini...
Asti, “iya, sudah kujodohkan itu sama kakakku gang. Kakakku di keperawatanki. Cocokji toh sama-sama di kesehatan?”.
Aku hanya garuk-garuk kepala, tidak gatal sebenarnya, tapi gak tau mau bilang apa. Hadouh... ini Asti kambuh lagi.
Tidak lama begitu teman yang lain, Ayu, masuk ke lab, mengajak kami pulang, “ayomi pulang, teman-teman. Datangmi yang dinas malam”.
Asti mengajakku pulang. Di antara semua mahasiswa magang di RSUD, dia memang yang paling akrab denganku. “ayo`mi pulang, Farah... datangmi bapakku?”.
Aku protes, “ihh gang... bapakku!”.
Asti juga bersikeras, “bapaknya kakakku, berarti bapakku juga”
Rahmi menengahi, “kan sudah ditakdirkanmi toh bilang orang baik itu berjodoh sama orang baik”
Asti kumat lagi, ”berarti kakakku orang baik dong? Karena orang baik juga nadapat”. Teman-teman yang lain cuma tertawa. Sebagian menimpali, “ooo.. jadi Farah sama kakaknya Asti niyh ceritanya, biasaji iyya memang begitu... hehehe”. Aku hanya menggeleng sambil berkata, “Tidak... sembarang tong itu Asti..”. Asti memang orangnya suka bercanda, jadi aku tahu itu 100% hanya main-main.
Wah, Asti masih kurang kerjaan tuh, dia berkata lagi, “pokoknya sudahmi kujodohkan. Jadi nanti kalo datang kakakku langsung mami kutarik. Farah orang Limbungji toh? Gampangmi itu. Farah, pulang duluanka` nah. Salamku sama bapak..! Assalamu`alaikum”.
“Wa`alaikumsalam warahmatullah..”, aku masih hendak protes.  Sayangnya dia sudah keburu menghilang, meninggalkan aku yang masih diam di kursi tunggu depan lab. Belum beranjak sedikitpun. Hingga yang ditunggu akhirnya datang juga. Sepanjang perjalanan pulang aku merenung, ahh... Farah.. Farah... Tulang rusuk tak akan pernah tertukar!.