Sabtu, 13 April 2013

My New State


“Kakak.. kerennya itu si El-Kahfi!”, seru adikku dengan mimik penuh kagum.
Seseorang menimpali, “apa pekerjaannya? Nggak usah kamu target kalau dia cuma mahasiswa, tidak bisa dimintai uang. Target cowok itu yang kaya-kaya, yang sudah punya modal memang dari orangtuanya”.
Aku hanya diam mendengar. Sejujurnya aku tersinggung. Aku baru saja menikah sebulan lalu dengan seorang pemuda. Dia masih semester akhir, mengejar gelar Sarjana Keperawatannya. Dan aku? Aku juga sementara semester akhir di Akademi Analis Kesehatan.
Dalam kesendirian, aku sering merenung. Mengapa aku menerimanya begitu saja saat ia datang?. Mengapa aku tidak menolaknya? Atau paling tidak menunda pernikahan dengan alasan kuliah. Seperti kebanyakan mahasiswa lain. Tapi ah, tidak wah itu namanya. Tidak fantastis. Justru inilah saat yang tepat, menangkap bola yang datang. Menikah di saat masih kuliah, so what ghitu loh?. Selain lebih bisa menjaga kehormatan diri, ada alasan lain yang lebih fundamental. Alasan yang sering kusampaikan pada suamiku di saat-saat kami sedang berdua saja.
Kak Ismail, umurnya terpaut tiga tahun dariku, yang selama ini ku kagumi dalam diam, akhirnya sah menjadi bagian dari hari-hariku. Dia datang ke rumah di saat cinta dalam hatiku sedang mekar-mekarnya. Tepat beberapa bulan setelah Ramadhan, sejak doa-doaku mengalir deras meminta dirinya pada Rabb-ku.
Saat dia datang, orangtuaku menyerahkan semua keputusan padaku.
“toh kamu sendiri yang akan menjalaninya”, kata mereka padaku. Mereka sudah tahu perasaanku pada lelaki itu. Hatiku sudah mentok padanya. Jangan tanyakan padaku mengapa. Pernahkah engkau menyukai seseorang tanpa tahu alasan mengapa engkau menyukainya?. Ya, seperti itulah aku.
Terngiang kembali kata-kata itu, “Nggak usah kamu target kalau dia cuma mahasiswa, tidak bisa dimintai uang. Target cowok itu yang kaya-kaya, yang sudah punya modal memang dari orangtuanya”. Pernyataan yang betul-betul menantang. Tantangan untuk segera bangkit. Sering sesak rasanya dada ini mendengar kata-kata seperti itu, atau yang senada. Namun apa daya, memang begitulah keadaannya.
Allah sesuai persangkaan kita kepada-Nya, iya kan?. Tunggulah sebentar lagi, akan kami buktikan. Dengan pertolongan Allah tentunya. Semua hanya butuh kesabaran. Dia seorang perawat, dalam darahnya juga mengalir darah saudagar, warisan dari kedua orangtuanya. Aku sendiri Analis Kesehatan. Jadi apa yang mesti ku khawatirkan?. Allah bersama kita. Selalu. Insya Allah.
Enam bulan lagi kami wisuda. Setelahnya, aku bisa langsung kerja, insya Allah. Dia juga sudah merencanakan akan membuka usaha nanti; toko sepatu dan tas. Orangtuanya sudah menyanggupi akan memberi modal. Sembari melanjutkan S2 Fisiologinya. Nanti juga bisa jadi dosen. Lantas, nikmat Tuhanmu yang mana lagikah yang kamu dustakan?. Kita hanya butuh sedikit bersabar, Sayang...
***
“Sabar”, kata yang  begitu mudah kita sampaikan pada orang lain yang tengah dirundung sedih. Namun akan sulit rasanya jika kita sendiri yang berada di posisi itu.
“bersabarlah”
“kamu tidak merasakan apa yang aku rasakan”
Benar memang, dengan mudahnya kita menyuruh seseorang untuk bersabar. Tapi akan beda rasanya jika kita yang berada di posisi itu.
***
 Suamiku, belahan jiwaku,  aku hanya ingin selalu berada di sisimu, membantumu sebisaku, meringankan beban di pundakmu. Aku hanya ingin menjadi penyejuk hati dan pelipur lara bagimu, menjadi penyemangat dalam hidupmu, aku ingin selalu membantumu semampuku.
Aku bahagia bisa bersamamu. Sungguh. Aku sangat bahagia bisa menjadi bagian dari hari-harimu, menjadi bagian dari dirimu.
Suamiku, belahan jiwaku. Tahukah engkau alasan mengapa aku memilihmu? mengapa bukan orang lain? karena aku percaya padamu. Aku percaya engkau adalah laki-laki yang bertanggung-jawab.  engkau adalah laki-laki yang penyayang. Sebab tidak mudah menghambakan diri pada seorang manusia, menghamba seumur hidup. Karena itu aku menerimamu penjadi imam di kehidupanku. Karena aku percaya padamu, engkau adalah imam yang baik, yang penyayang, yang akan selalu dicintai oleh Allah.
Aku ingin selalu bisa tampak ceria di hadapanmu, selalu menjadi orang yang paling bahagia karena kehadiranmu. Tapi lihatlah, engkau terlalu sering melihatku menangis di bulan awal pernikahan kita.. maafkan aku yang begitu sering membuatmu sedih..
***
 “ada yang ingin kamu utarakan ya, Cinta?”
“hmm? Tidak..”
“pasti ada.. iya kan? Apa itu?”
“aku meyayangimu”
“aku juga”
“........”
“selain itu?  pasti ada lagi kan?”
“aku sangat menyayangimu`”
“itu yang pertama.. yang kedua apa?”
“yang pertama , aku meyayangimu.. Yang kedua, aku menyayangimu.. Yang ketiga, aku menyayangimu.. Yang keempat, aku sangat menyayangimu”.
Dia mendekapku lalu menghujaniku dengan ciuman. Aku hanya terseyum, memeluk erat tubuhnya. Seakan tak ingin kulepas. Sambil kuelus-elus punggungnya, aku berkata dengan suara tertahan,
“aku hanya ingin menjadi orang yang selalu bisa membantumu. Aku ingin selalu bisa memudahkan urusanmu..”. aku terdiam sejenak, sulit melanjutkan. Meski beban itu menyesakkan dada, tapi aku tak ingin mengeluh padanya. 
Samar-samar aku mendengar ia berbisik di telingaku, “aku akan selalu mencintaimu”.
Tanpa terasa, butiran bening jatuh membasahi pipiku. Daguku masih bertopang di bahunya yang kekar. Aku tak ingin ia melihatku menangis, Tanpa melepas pelukan, cepat-cepat kuseka air mataku dengan punggung tanganku.
“aku takut suatu saat nanti terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, sehingga aku tak bisa melakukan apa-apa lagi untukmu”
“jangan berfikir yang bukan-bukan.. kita harus selalu berprasangka-baik pada Allah. Yang penting kita tetap berusaha, Cinta..”, dia menciumku beberapa kali.
Aku terdiam. Batinku membenarkan perkataannya. Erat-erat kupeluk tubuhnya, serasa tak ingin ku melepasnya. Ya, Allah.. aku mencintainya karena-Mu.
hasbunallaah wa ni`mal wakiil. Cukuplah Allah bagi kita, Sebaik-baik penolong..