Menyusuri
sepanjang jalan Banta-bantaeng, tertunduk. Merenung.
Aku baru saja menerima
pesan dari seorang yang ku sebut sebagai sahabat. Awalnya aku hanya ingin
berbagi kesan dengannya. Ku katakan padanya, “Yang paling bikin aku semangat
belajar itu cuman hadiah dari Bapak. Ituji”. Maksudnya, janji-janji dan
hadiah dari ayahku-lah yang paling membuatku semangat untuk belajar. Hadiah-hadiah
itulah yang paling berperan memacu semangat belajarku. Mengalahkan penat,
berpacu dengan waktu. Tiap kali aku meraih suatu prestasi di sekolah, dia
selalu memberiku hadiah. Kebiasaan ini masih juga ia teruskan saat aku di
perguruan tinggi. Hadiah yang bagiku cukup besar, begitu berharga karena ku
dapat dengan penuh susah payah.
“Belakanganpi
ku sadari banyak sekali keberuntungan yang ku dapat setelahnya”, ini isi pesan
yang juga ku sampaikan pada sahabatku. Tak lama kemudian datang balasan
darinya, “Ketika seseorang menceritakan prestasi-prestasinya dengan terlalu
bersemangat, dengan nada sombong dan penuh keyakinan, hal tersebut malah jadi
meMUAKkan. #someone tidak perlu menyebut prestasi-prestasi yang kita peroleh,
cukup diam, dan biarkan prestasi-prestasi itu yang berbicara”.
Engkau benar,
wahai Sahabatku. Mungkin aku sudah terlalu jauh melambung ke awan. Boleh jadi
aku akan bangga diri dengan segala prestasi yang telah ku raih. Dengan beasiswa
itu, dengan nilai-nilai yang selalu A, dengan indeks prestasi yang gemilang
itu. Boleh jadi itu memang benar. Padahal kullu man `alaihaa faan. Semuanya
fana, semua akan musnah tak tersisa. Terima kasih telah membuka lebar mataku
akan tipu daya syaithan yang sangat licik itu. syaithan begitu pintar, ia
hendak menggelincirkanku dari bersyukur kepada Allah, ia terus berusaha
menelusupkan kerusakan-kerusakan ke dalam hatiku. Aku beruntung karena Allah
mengirimkan seorang penolong bagiku, yaitu dirimu. Terima kasih telah
membantuku untuk bangkit dari kemungkinan untuk terperosok ke dalam jurang yang
begitu dalam, lembah kenistaan. Inilah alasan mengapa aku memilihmu menjadi
satu di antara sahabatku.
Tapi perlu
engkau ketahui tidak ada maksudku untuk menyombongkan diri saat
menceritakannya. Aku hanya sedang sangat bahagia kala itu. Daripada aku
senyum-senyum sendiri (nanti dikira orang gila lagi!), lebih baik aku ceritakan
pada orang-orang terdekatku. Ya, pada orang-orang terdekat saja. Pada ayah,
pada ibu, pada adikku, dan juga padamu, sahabatku. Mengapa hanya pada kalian? Karena
aku percaya. Berbagi dengan orang-orang yang tepat pasti akan menggapai manfaat
yang besar. Lihat, hanya pada kalian. Tidak pada sembarang orang kan?. Karena aku
tahu bahwa perkara hati itu sangat halus, mudah berubah, dan sulit ditebak. Sombong?
Semoga tidak pernah, sayang.. Karena aku ingat pesan-Nya, “Janganlah kamu
berjalan di muka bumi dengan sombong” dan “Sungguh tidak akan masuk Syurga
orang yang di dalam hatinya ada kesombongan meski hanya seberat dzarrah”. Bangga
diri? Semoga juga tidak pernah. Karena di atas langit masih ada langit. Tidak ada
yang patut di banggakan dari diri ini.
Terima kasih
untuk nasihatmu yang begitu berharga, wahai Sahabatku..
***
“Ketika seseorang menceritakan prestasi-prestasinya
dengan terlalu bersemangat, dengan nada sombong, dan penuh keyakinan, hal
tersebut malah jadi meMUAKkan. #someone tidak perlu menyebut prestasi-prestasi
yang kita peroleh, cukup diam, dan biarkan prestasi-prestasi itu yang
berbicara. ”
Ketika membaca pesan ini, aku tercengang. Sister,
kamu menyindirku?. Butuh waktu lama memilih kata yang tepat untuk hingga
akhirnya ku balas, “Haik, arigatou”.
Dan lebih lama lagi waktu yang ku butuhkan untuk
merenungi makna dari pesan itu. Teringat semua kejadian yang telah lampau. Mengingat
semua kesalahan yang telah ku lakukan. Dan memang, manusia tak selamanya selalu
benar.
Ku putuskan untuk bertanya lagi padanya, “Yang mana
dari tulisanku yang ada nada-nada ujub dan kesombongannya, Sista?”.
Cepat dia balas, “Jangan
salah paham, bukan itu...”.
Ku balas lagi, “Tapi ku suka ji pesannya koq...”.
padahal sebenarnya, addeuh... rasanya nano-nano!.
“Jeongmal mianhae. Tadi itu toh bukaka
web-nya suatu Universitas Ternama –Tak perlu saya sebut namanya- trus ada
postingan tentang mahasiswanya yang identik dengan high quality-nya dan
karena itu banyak yang ujub jadi ada orang yang coba kritisi atau bahasa
halusnya bikin sadarlah... trus ketemu sama kata-kata itu dan aku coba send
ke kamu, jadi ndak adaji hubungannya dengan postingan di blogmu..”
“Hohoho... :D Sempatka` muhasabah tadi.”
“Lagian.. Terlalu peka”.
Rasanya langsung plong.. Fiuuh... Bincang-bincang
berlanjut hangat.
Habis baca2 di blog ini.alhamdulillah,banyak dapat pelajaran.afwan nah kak,selama ini sdh jadi silent reader.hehe.kalau mau comment biasa ribet sekali bela.ok.sy tunggu tulisan slanjutnya.:)
BalasHapusfatimaa analis??
BalasHapus:)
BalasHapusAkhirnya ada juga yang koment. hehe...
Syukron, Aisyah. Selama ini saya kira cuman bicara sama keyboard. :) hehe...
Tapi, dari tulisan kita bisa mengenal pribadi seseorang. Karena bagaimana pun, jasad akan musnah. jadi, mari menulis..
Makasih juga, Aqifah.. Selamat hari raya `idul fitri. Taqabbalallahu minnaa wa minkum.